SHARE

Hampir tidak ada element of surprise (kejutan-kejutan) ketika partai-partai koalisi mengumumkan pasangan calon Calon Presiden-Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres), kita menunggunya tapi kok hanya sekedar kelaziman politik hingar-bingar.

CARAPANDANG - Hampir tidak ada element of surprise (kejutan-kejutan) ketika partai-partai koalisi mengumumkan pasangan calon Calon Presiden-Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres), kita menunggunya tapi kok hanya sekedar kelaziman politik hingar-bingar. Sebab memang tak ada yang mengejutkan, terutama dari unsur figur-figur calonnya adalah orang-orang yang sudah biasa kita kenal.

Tidak seperti pada Pilpres 2014 lalu ada Capres yang dibela-belain sebagai sosok satrio piningit. Seseorang yang lahir dari kalangan jelata, non kasta bangsawan politik. Namun dianggap punya nyali berhadap-hadapan rivalitas melawan setara kelas elite, militer dan teknokrat yang punya segalanya. Figur yang rapopo, kekuasaan untuk rakyat, turun ke bawah blusukan, saking merakyatnya mau turun ke got dan tetapi tak berkelit kendati dikepung koalisi oposisi gemuk sekalipun.

Politisi ulung pasca reformasi, hampir sempurna, sosok yang benar-benar diharapkan, dan dirindukan kehadirannya karena dipercaya juruselamat Indonesia dari bayang-bayang kelam masa silam. Dan mutakhir! memiliki modal follower organik, partisipasipan massa yang bukan terdorong pragmatisme dibayar.

Muncul fenomena voluntarisme kerelawanan yang ramai, militan bekerja memenangkannya. Relawan tak disangka-sangka, mereka datang dari dunia lain, bukan praktisi politik partai apalagi anak-cucu darah biru pendiri bangsa. Tetapi dari berbagai profesi, ada tukang komputer, seniman, pengayuh becak, tukang nyangkul petani, nelayan, pedagang dan seterusnya yang peduli nasib negeri.

Memang ada segmentasi pemuda di Calon Wakil Presiden (Cawapres) Gibran Rakabuming Raka dengan program kartu-kartu yang ditampilkannya. Tetapi faktor tersebut sejauh ini hanya saja menyangkut daya saing, efek lonjakan elektoral semata. Sebab representasi citra sosok satrio piningit, praktik figur yang rapopo yang kebetulan terdapat variabel biologis dengannya, apakah ornamen-ornamen tersebut dapat mengadopsinya sehingga bisa dijadikan instrumen politik? Nampak belum kelihatan, dan belum tentu mampu.

Kendati generasi biologis tidak secara otomatis bertautan pada emosional ideologis. Bahwa apa yang diwariskannya, tidak mudah dapat dipersonalisasikannya, perlu diuji otentisitasnya di lapangan. Bisa saja justru yang lain memanfaatkannya, kita tunggu saja hari-hari ke depan.

Halaman :
Tags
SHARE