SHARE

Istimewa (Net)

CARAPANDANG -  Oleh: Amir Fiqi, Pemerhati pendidikan dan sosial

Kekerasan di lingkungan sekolah masih menjadi ancaman yang serius bagi jalannya pendidikan di Indonesia. Rangkaian peristiwa kekerasan di lingkungan sekolah kerap mewarnai pemberitaan, dan jumlah semakin banyak.

Jika kekerasan di lingkungan sekolah masih terjadi, maka transformasi pendidikan yang sedang dilakukan oleh pemerintah dengan meningkatkan mutu guru hingga perubahan kurikulum tidak akan ada artinya, sebab anak-anak tidak merasa aman di lingkungan satuan pendidikan yang menjadi tempat mereka menimba ilmu.

Mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman merupakan kunci penting bagi keberhasilan pendidikan di Indonesia. Maka itu, guru, siswa dan wali murid harus bekerjasama untuk mewujudkannya. Namun yang terjadi akhir-akhir ini masih jauh dari harapan, kekerasan di lingkungan sekolah kerap terjadi di sejumlah daerah, dan yang menjadi korban dan pelaku adalah guru, siswa dan wali murid.

Misalnya kasus kekerasaan yang dialami oleh guru di Madrasah Aliyah di Demak, Jawa Tengah. Karena dilarang mengikuti ujian murid tega menganiaya gurunya. Akibat dari kejadian ini guru mengalami luka serius.  Di tempat lain, kasus kekerasan yang dialami oleh guru juga terjadi di SMA Negeri 7 Rejang Lebong, Bengkulu. Wali Murid tega melukai guru dengan cara diketapel, alasannya sangat tidak masuk akal, karena tidak terima anaknya ditegur setelah kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Akibat kejadian tersebut guru mengalami kebutaan permanen.

Kasus kekerasan juga terjadi antar pelajar di Gresik, yang diduga dilakukan oleh kakak kelas nya sehingga mengakibatkan kebutaan seorang siswa SD. Tersebar juga video kekerasaan pelajar SMP di Cilacap, Jawa Tengah, dimana korban perundungan dipukul, diseret dan diinjak rekannya.

Tidak hanya kekerasan fisik, kekerasan seksual juga kerap terjadi di lingkungan sekolah. Jumlahnya sangat mengkhawatirkan juga. Berdasarkan data yang dirilis oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sejak awal tahun hingga Mei 2023 telah ditemukan sebanyak 202 anak menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah Kemendikbudristek dan Kementerian Agama.

Pada temuan tersebut menjelaskan bahwa pelaku kekerasan seksual dilakukan oleh guru (31,80%), pemilik dan atau pemimpin pondok pesantren (18,20%), kepala sekolah (13,63%), guru ngaji (13,63%), pengasuh asrama/pondok (4,5%), kepala madrasah (4,5%), penjaga sekolah (4,5%), lainnya (9%). Ini menjadi alarm bagi kita semua bahwa kekerasan di lingkungan sekolah bukan masalah yang sepele, tapi  ini masalah yang sangat serius untuk dicari jalan keluarnya.

Perlu gerak cepat

Dari runtutan peristiwa yang penulis ungkap di atas menggambarkan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia tidak baik-baiknya. Kasus kekerasan di lingkungan sekolah seperti fenomena gunung es,  di permukaan terlihat sedikit, tapi pada kenyataannya ada banyak sekali masalah di bawahnya.

Maka itu perlu gerak cepat dalam mengatasi permasalahan kekerasan di lingkungan sekolah ini. Jika terus dibiarkan maka nasib pendidikan Indonesia yang akan dipertaruhkan. Sedangkan dunia pendidikan di Indonesia juga  masih dihadapkan dengan masalah-masalah fundamental lainnya yang jauh lebih penting, yakni dari akses terbatas ke pendidikan, ketimpangan pendidikan, hingga kualitas guru dan tenaga pendidik.

Selain itu, pendidikan di Indonesia juga masih mengejar ketertinggalan anak dalam hal literasi dan numerasi. Negara kita masih jauh tertinggal dengan negara tetangga, seperti Singapura atau Malaysia. Ini juga harus menjadi perhatian penting untuk dipikirkan bersama.

Dengan hadirnya Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) merupakan wujud gerak cepat yang sedang dilakukan oleh Kemendikbudristek dalam rangka mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman.

Peraturan tersebut memiliki tujuan yang tegas dan jelas yakni untuk mengatasi dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi dan intoleransi. Selain itu, peraturan ini bertujuan untuk membantu lembaga pendidikan dalam menangani kasus-kasus kasus-kasus kekerasan, termasuk bentuk daring dan psikologis, sambil memberikan prioritas pada perspektif korban.

Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim saat peluncuran Episode 25 Merdeka Belajar di Plaza Insan Berprestasi, Kemendikbudristek, Jakarta, pada Selasa (08/08) menekankan bahwa Permendikbudristek PPKSP bertujuan melindungi siswa, pendidik, dan staf pendidikan dari kekerasan selama kegiatan pendidikan, baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan. Selain itu, Permendikbudristek PPKSP juga menghilangkan keraguan dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, psikologis, kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Kepastian ini mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan dan memastikan tidak adanya kebijakan di dalam lembaga pendidikan yang berpotensi memicu kekerasan.

“Peraturan baru ini dengan tegas menyatakan bahwa kebijakan yang berpotensi memicu kekerasan, baik dalam bentuk keputusan, surat edaran, catatan dinas, himbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain, dilarang,” tegas Mas Menteri.

Selain aspek-aspek tersebut, Permendikbudristek PPKSP menguraikan mekanisme pencegahan yang akan dilaksanakan oleh lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ini juga menetapkan pedoman pendekatan yang berpusat pada korban dalam penanganan kekerasan, dengan memberikan prioritas pada pemulihan mereka.

Satuan pendidikan juga diwajibkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), sementara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus membentuk Satuan Tugas (Satgas). TPPK dan Satgas harus dibentuk dalam waktu 6 hingga 12 bulan setelah peraturan diundangkan untuk memastikan penanganan yang cepat terhadap kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Jika ada laporan kekerasan, kedua tim ini harus menangani masalah tersebut dan memastikan pemulihan korban.

Implementasi regulasi

Regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP merupakan langkah nyata yang dilakukan untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman. Masyarakat menunggu implementasi dari regulasi tersebut.

Sebaik-baiknya regulasi yang telah dibuat tidak akan ada artinya tanpa dibarengi dengan implementasi yang nyata dan tegas. Penulis sangat optimis regulasi yang telah diterbitkan oleh Kemendikbudristek tersebut dalam upaya mencegah kekerasan di lingkungan pendidikan jika dijalankan dengan sebaik-baiknya bisa menjadi solusi jitu dari permasalahan yang sedang dihadapi. Dan, akan menjadi jawaban untuk mewujudkan sekolah yang aman dan nyaman.

Untuk itu, agar Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP bisa diimplementasikan, Kemendikbudristek harus bekerja lebih massif lagi. Tidak cukup hanya berhenti membuat regulasi, tapi juga harus menyosialisasikan Permendikbudristek tentang PPKSP tersebut kepada semua stakeholder pendidikan, mulai dari dinas pendidikan, pengawas sekolah, organiasi profesi guru, orang tua dan peserta didik secara berjenjang.  Hal ini perlu juga dibarengi dengan paradigma disiplin positif dan pelatihan keterampilan teknis bagi guru serta kepala sekolah dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.

Kita sangat berharap institusi  pendidikan di Indonesia jauh dari kekerasan. Sehingga bisa menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik dalam menimba ilmu pengetahuan. Dan juga menjadi tempat yang aman bagi guru dalam menjalankan tugasnya dalam mencerdakan anak bangsa.  Sehingga tujuan dari  institusi pendidikan yang menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku individu ke arah yang lebih baik akan tercapai.

Inilah yang kita harapkan bersama pendidikan di Indonesia tidak hanya berkualitas dan merata. Tapi juga pendidikan yang dalam prosesnya memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua, baik guru, siswa dan orang tua.  Sehingga akan lahir anak-anak Indonesia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi cerdas secara emosional dan spiritual. Semoga