SHARE

Prof. Mohammad Nur Rianto Al Arif

CARAPANDANG.COM - Dalam rangka pemerkuatan industri perbankan syariah, Kementerian BUMN mengambil kebijakan untuk merger tiga bank syariah anak BUMN yaitu PT. Bank Syariah Mandiri, PT. Bank BRI Syariah Tbk, dan PT. Bank BNI Syariah. Dalam proses penggabungan ini Bank BRI Syariah ditunjuk sebagai bank penerima penggabungan atau surviving entity karena statusnya yang saat ini telah menjadi perusahaan terbuka. Dalam proses merger ini, ekuitas dari Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah akan dihitung sebagai penyertaan ke Bank BRI Syariah. Bank hasil merger ini diberi nama sebagai Bank Syariah Indonesia.

Penetrasi pasar dan efisiensi menjadi beberapa tujuan utama bank syariah hasil merger tiga bank syariah ini. Pasca merger, aset bank ditaksir akan mencapai Rp 214,65 triliun akan langsung masuk dalam jajaran bank syariah terbesar di dunia. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam empat hingga lima tahun ke depan bank hasil merger akan dengan mudah naik kelas ke bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4. Kemudian valuasi dapat dua kali book value di kisaran US$ 8-10 miliar.

Tulisan ini akan mencoba menyajikan suatu analisis tentang seberapa penting merger bank umum syariah milik BUMN pada kondisi saat ini. Secara umum, terdapat beberapa keuntungan yang didapat dari proses konsolidasi pada industri keuangan syariah (termasuk industri perbankan syariah), yaitu: pertama, industri keuangan syariah akan dapat memperluas cakupan produk dan layanannya. Kedua, industri keuangan syariah dapat membangun infrastruktur yang lebih solid untuk layanannya. Ketiga, industri keuangan syariah dapat memperoleh keuntungan efisiensi melalui peningkatan kualitas manajemen dan diversifikasi produk. Namun, pada sisi lain terdapat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa merger tidak memberikan dampak positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Apabila kita flashback ke tahun 1998 ketika pemerintah melakukan merger empat bank pemerintah yaitu Bank Ekspor Impor Indonesia (Ban Exim), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) menjadi Bank Mandiri. Selain itu dilakukan pula merger lima bank swasta nasional yaitu Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Express, Bank Artamedia, dan Bank Patriot menjadi bank Permata. Keputusan merger pada saat tersebut di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang tengah mengalami krisis dan hampir seluruh bank di Indonesia mengalami negative spread dan kerugian yang tinggi. Sehingga keputusan penggabungan bank ini merupakan bagian dari program restrukturisasi perbankan nasional. Proses merger bank mandiri menyebabkan sebanyak 8.980 orang dilakukan pemutusan hubungan kerja dan 194 unit kantor cabang ditutup. Penyesuaian di Bank Mandiri dilakukan secara bertahap sekitar 5-7 tahun.

Pertanyaan yang muncul ialah seberapa pentingkah merger bank syariah milik BUMN ini untuk dilakukan? Pertama, jika kita melihat pada kondisi makro ekonomi Indonesia tahun 1998 dengan kondisi tahun 2020 ini sangat berbeda. Pada tahun 1998, kondisi perekonomian Indonesia sangat terpuruk yang dinilai dari nilai tukar rupiah yang anjlok, tingkat pertumbuhan ekonomi yang negatif, dan tingkat inflasi yang sangat tinggi. Sedangkan kondisi saat ini, meskipun secara teknis kita tengah mengalami resesi ekonomi akibat mengalami pertumbuhan negatif selama dua triwulan beruntun. Namun, menurut Menteri Keuangan Indonesia saat ini tren ekonomi Indonesia sudah mengalami tren perbaikan.

Kedua, salah satu alasan untuk merger ialah untuk menaikkan pangsa pasar industri perbankan syariah di Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa five percent trap pangsa pasar baru terlampaui di tahun 2016 seiring dengan konversi bank Aceh menjadi bank umum syariah. Saat ini pangsa pasar perbankan syariah pada industri perbankan nasional masih pada kisaran 6%. Merger tiga bank syariah milik BUMN diprediksi tidak akan menaikkan pangsa pasar industri perbankan syariah secara nasional.

Ketiga, kondisi bank syariah yang saat ini dimerger dalam kondisi yang baik. Berdasarkan data per Juni 2020 laba yang diperoleh oleh masing-masing bank ialah Rp 728 miliar (BSM), Rp 266 miliar (BNIS), dan Rp 117 miliar (BRIS). Tingkat pembiayaan bermasalah di tiga bank syariah ini pun masih dibawah ambang batas yaitu 2,57% (BSM), 3,90% (BNIS), dan 3,99% (BRIS). Sehingga dari kondisi bank syariah yang akan dimerger saat ini jika dibandingkan dengan kondisi merger Bank Mandiri dan Bank Permata jauh berbeda pada akhir tahun 1990an.

Keempat, penggabungan tiga bank syariah ini akan mengakibatkan dominasi Bank Syariah Indonesia (BSI) mendominasi industri perbankan syariah dengan pencapaian 40% pangsa pasar bank syariah di Indonesia, apalagi kondisi ini dapat menjadi 50% apabila UUS BTN dilebur ke dalam BSI. Hal ini akan mengakibatkan semakin terkonsentrasinya industri perbankan syariah di Indonesia. Semakin terkonsentrasinya pasar akan menjadikan tingkat persaingan yang semakin menurun, dan hal ini diprediksi akan menurunkan inovasi, produk, dan layanan BSI kepada masyarakat.

Kelima, pasca merger diprediksi BSI akan memiliki total aset lebih dari Rp 200 triliun dengan modal inti Rp 20 triliun. Jumlah aset yang besar ini dapat menyebabkan BSI untuk cenderung menyalurkan pembiayaan dengan porsi lebih besar ke segmen korporasi dibandingkan dengan sektor UMKM. Secara kapasitas, BSM dan BNIS masing-masing baru menyalurkan pembiayaan kepada UMKM dibawah 20% dari total pembiayaan, sedangkan BRIS sudah menyalurkan pembiayaan kepada UMKM sekitar 50% dari total pembiayaannya. Alasan ini pulalah yang menjadi perhatian utama dari PP Muhammadiyah atas keputusan merger tiga bank syariah menjadi Bank Syariah Indonesia yaitu keberpihakan terhadap UMKM.

Keenam, proses merger akan menyebabkan penyesuaian baik pada jaringan kantor, fungsi manajemen, teknologi, jumlah tenaga kerja, dan lainnya. Dalam proses transisi merger ini, tentu akan mengakibatkan banyaknya tenaga kerja di BSI yang harus dikurangi, apabila tidak dikurangi justru akan mengakibatkan BSI menjadi tidak efisien. Berkaca pada kondisi perekonomian Indonesia saat ini, tentu sebisa mungkin kita harus menghindari pemutusan hubungan kerja.

Ketujuh, merger tiga bank syariah milik BUMN ini ternyata tidak serta merta menjadi bank hasil merger (BSI) menjadi bank BUMN. Komposisi pemegang saham bank hasil merger ialah 51% saham dimiliki oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, 25% dimiliki oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, 17,4% dimiliki oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan sisanya dimiliki oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) BRI dan Publik. Apabila bank hasil merger tidak serta merta menjadikan mereka sebagai bank BUMN lalu untuk apa merger ini dipaksakan? Melihat dari komposisi pemegang saham, merger ini ternyata menguntungkan salah satu pemegang saham yang menjadi pemegang saham mayoritas. Sehingga dapat menimbulkan suatu dugaan baru, apakah merger ini merupakan akuisisi terselubung?

Berdasarkan pada paparan diatas, merger tiga bank syariah milik BUMN (BSM, BNIS, dan BRIS) menjadi Bank Syariah Indonesia belum penting dilakukan pada kondisi saat ini. Karena secara umum merger ini tidak memberikan dampak signifikan bagi akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Kondisi perekonomian saat ini yang tengah mengalami resesi ekonomi akibat pandemi covid-19 tentu harus menjadi perhatian utama dibandingkan dengan merger bank syariah, karena proses merger tentu akan menyita energi, waktu, dan biaya. Ukuran yang besar dari bank syariah adalah suatu hal yang penting, namun dalam konteks ekonomi Indonesia saat ini merger masih belum penting untuk dilakukan.

Bilamana pemerintah memiliki kesungguhan dalam mengembangkan industri perbankan syariah di Indonesia maka opsi yang menurut penulis lebih penting untuk dilakukan saat ini ialah konversi salah satu bank BUMN konvensional menjadi sepenuhnya bank syariah. Bank yang dapat dikonversi menjadi bank umum syariah ialah Bank BTN. Kemudian, bank hasil konversi ini akan menjadi induk holding bagi tiga bank syariah milik BUMN lainnya. Menurut penulis, konversi ini akan mampu meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia. Sehingga penguatan ekosistem ekonomi syariah di Indonesia akan semakin baik dan Indonesia dapat benar-benar menjadi pemain utama dalam industri ekonomi dan keuangan syariah secara global. [**]

**Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif
Penulis adalah Guru Besar Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah. 


Tags
SHARE